Bahaya Tersembunyi Video Pendek: Otak Bisa Melemah Perlahan
Jakarta, krinkz.co -- Fenomena kecanduan video pendek di media sosial kembali menjadi perhatian para ahli kesehatan mental. Konten yang terus bergulir cepat dinilai dapat mengubah cara otak bekerja, terutama pada remaja dan dewasa muda yang lebih rentan terhadap rangsangan visual.
Video berdurasi singkat disebut memengaruhi kemampuan otak dalam mempertahankan fokus. Ahli menyebut proses ini dapat melemahkan memori jangka panjang dan mengubah pola kerja sistem reward otak.
Kebiasaan Scroll Berulang Picu Perubahan Otak
Konsumsi video pendek secara berlebihan mendorong otak terbiasa mencari rangsangan cepat. Konten yang muncul tanpa henti membuat bagian otak yang bertanggung jawab pada konsentrasi bekerja lebih keras dari biasanya.
Menurut penjelasan pakar neuropsikologi, video cepat membuat otak terbiasa pada pola dopamine hit. “Semakin pengguna terbiasa dengan rangsangan cepat, semakin sulit bagi otak untuk menikmati aktivitas biasa yang membutuhkan fokus lebih lama,” ungkap seorang dokter spesialis saraf.
Akibatnya, pengguna bisa mengalami kesulitan fokus, menurunnya minat belajar, mudah bosan, hingga gangguan tidur.
Tahapan Proses 'Pembusukan' Otak Akibat Video Pendek
Para ahli membagi tahapan dampak paparan video pendek sebagai berikut:
1. Fase Ketagihan Awal
Di tahap ini, pengguna merasa mendapat hiburan instan. Muncul rasa penasaran terus-menerus dan keinginan untuk scroll tanpa henti.
2. Fase Penurunan Fokus
Setelah terbiasa, otak mulai kehilangan kemampuan mempertahankan perhatian panjang. Mengikuti pelajaran, membaca buku, atau bekerja terasa lebih sulit.
3. Fase Menurunnya Kapasitas Memori
Otak menjadi terbiasa mengejar hal yang cepat dan singkat. Informasi yang masuk sulit disimpan dalam memori jangka panjang.
4. Fase Gangguan Emosi
Pengguna bisa mengalami mudah marah, cemas, dan sulit mengendalikan emosi karena sistem reward otak tidak stabil.
5. Fase Kejenuhan dan Penurunan Produktivitas
Pada tahap ini, aktivitas sehari-hari seperti belajar, bekerja, dan bersosialisasi mulai terganggu.
Remaja Paling Rentan Terpapar Dampaknya
Remaja yang masih dalam proses perkembangan otak cenderung lebih rentan mengalami gangguan konsentrasi apabila terlalu sering mengakses video pendek. Kebiasaan ini juga dapat mengganggu fungsi lobus frontal, bagian otak yang bertugas mengatur perilaku.
Guru dan orang tua melaporkan banyak siswa mengalami penurunan minat belajar dan sulit mengatur waktu akibat penggunaan media sosial yang berlebihan.
Solusi: Atur Durasi dan Terapkan Digital Hygiene
Ahli merekomendasikan beberapa cara untuk mengendalikan paparan video pendek:
- Batasi penggunaan maksimal 1–2 jam sehari
- Terapkan jeda 10–15 menit setelah penggunaan intens
- Hindari menonton sebelum tidur
- Gunakan fitur screen time atau app limit
- Ganti tontonan kurang bermanfaat dengan konten edukatif
- Lakukan aktivitas fisik untuk menjaga keseimbangan hormon dopamine
“Bukan berarti video pendek harus dihindari sepenuhnya. Yang penting adalah pengelolaan waktu dan kesadaran diri agar tidak berlebihan,” ujar seorang psikolog klinis.
Dampak Jangka Panjang Jika Tidak Dikendalikan
Jika kebiasaan konsumsi video pendek tidak diatur, dampaknya bisa meluas pada berbagai aspek kehidupan:
- Penurunan prestasi akademik
- Gangguan interaksi sosial
- Ketergantungan pada hiburan cepat
- Penurunan kemampuan berpikir kritis
- Risiko gangguan mental seperti kecemasan
Beberapa studi menunjukkan bahwa paparan media berkecepatan tinggi dapat menurunkan aktivitas otak di area yang mengatur pengambilan keputusan.
Orang Tua Diminta Aktif Mengawasi
Para orang tua diimbau mengawasi penggunaan media sosial pada anak-anak dan remaja. Membuat jadwal penggunaan perangkat, memberi contoh kebiasaan baik, serta menciptakan ruang aktivitas tanpa gawai menjadi langkah penting mencegah kecanduan.
Kesimpulan
Video pendek memang menyenangkan dan mudah diakses. Namun jika dikonsumsi tanpa kontrol, konten cepat ini dapat memengaruhi fungsi otak, terutama fokus, memori, dan kestabilan emosi.
Pengawasan, pengendalian durasi, serta pemahaman mengenai pola kerja otak diperlukan agar pengguna—khususnya anak muda—tidak mengalami dampak jangka panjang.
P: Sarah Oktaviani Alam
