Banjir Sumatera: Peringatan Nyata dari Krisis Ekologis yang Diabaikan
![]() |
| Proses pencarian korban yang terdampak bencana di Batang Toru, Sumatera Utara, dilakukan dengan memanfaatkan anjing pelacak K9 yang dimiliki oleh Polri. |
Dalam laporannya, para ahli menyebut banjir kali ini sebagai salah satu contoh paling jelas tentang bagaimana rusaknya tutupan hutan dapat memicu bencana yang lebih besar. Kerusakan ekosistem yang sudah berulang kali diperingatkan kini menunjukkan dampak nyata di lapangan.
“Kontributor dosa ekologis ini sudah saatnya dihentikan. Kita tidak bisa terus mengabaikan hutan yang hilang di hulu sungai,” kata seorang pakar lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Bencana yang Tidak Lagi Bisa Disebut Faktor Alam Semata
Banjir dan longsor di Sumatera terjadi setelah hujan deras mengguyur pegunungan Bukit Barisan. Namun kondisi cuaca bukan satu-satunya penyebab. Para ahli menegaskan bahwa hilangnya hutan di daerah tangkapan air, perambahan kawasan konservasi, dan alih fungsi lahan secara masif memperberat dampak bencana.
Struktur geomorfologi Sumatera yang berupa lereng curam membuat daerah itu sangat bergantung pada fungsi penyangga hutan. Ketika pohon-pohon ditebang dan tanah dibiarkan terbuka, air hujan langsung mengalir deras ke hilir tanpa kesempatan diserap tanah. Material seperti batu, tanah, dan batang pohon ikut terbawa, menghantam permukiman warga.
“*Bencana sebesar ini tidak akan terjadi jika hutan hulu masih berfungsi. Ketika akar pohon tidak lagi menahan tanah, longsor hanya menunggu waktu,*” ujar pakar hidrologi UGM dalam keterangannya.
Dampak Meluas: Rumah Hilang, Infrastruktur Rusak, dan Korban Jiwa
Sejumlah desa di sepanjang kaki Bukit Barisan dilaporkan rusak parah. Rumah hanyut, jembatan putus, dan akses jalan terputus akibat material lumpur dan kayu yang menumpuk. Ribuan warga terpaksa mengungsi, sementara tim SAR terus bekerja mencari korban yang hilang.
Kerusakan juga dirasakan pada wilayah sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah lama mengalami tekanan ekologis. Hutan yang seharusnya menjadi penyerap air justru berubah menjadi lahan pertanian monokultur, tambang terbuka, dan perkebunan berskala besar.
Bencana ini bukan hanya memukul sektor ekonomi masyarakat, tetapi juga memperburuk kualitas lingkungan dalam jangka panjang. Ekosistem satwa liar di hulu turut rusak. Beberapa laporan menyebutkan habitat gajah dan satwa lain semakin terdesak akibat alih fungsi hutan yang tidak terkendali.
Deforestasi: Akar Masalah yang Tak Kunjung Selesai
Indonesia telah lama menghadapi kritik terkait deforestasi, baik dari lembaga lingkungan nasional maupun internasional. Di Sumatera, pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambangan, hingga perumahan telah memperkecil tutupan hutan secara signifikan.
Kerusakan itu terlihat jelas saat bencana terjadi. Limpasan air meningkat karena tidak ada lagi vegetasi yang menahan laju aliran air. Longsor pun terjadi hanya dalam hitungan detik, membawa material berat ke hilir.
Sejumlah pakar hukum lingkungan bahkan menilai deforestasi yang berujung pada bencana seharusnya dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan karena mengorbankan keselamatan masyarakat.
“*Lingkungan yang rusak bukan hanya persoalan alam, tetapi persoalan manusia dan kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian ekosistem,*” kata seorang akademisi hukum lingkungan.
Banjir Sumatera Jadi Alarm Serius untuk Kebijakan Pemerintah
Banjir kali ini menjadi momentum bagi banyak pihak untuk mendesak pemerintah memperketat izin alih fungsi lahan, terutama di daerah hulu dan kawasan dengan risiko ekologis tinggi. Pembangunan yang tidak berkelanjutan dianggap sebagai faktor yang mempercepat kerentanan bencana.
Pakar UGM mengingatkan bahwa bencana seperti ini bukan kejadian sekali lalu. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam tata kelola lingkungan, bencana serupa bisa berulang bahkan dengan skala lebih besar.
“*Kita sedang melihat konsekuensi dari kebijakan yang menempatkan eksploitasi di atas konservasi. Sudah waktunya mengoreksi arah ini,*” tegasnya.
Mengapa Hutan Penting dalam Menahan Banjir dan Longsor?
Hutan berfungsi sebagai penyerap air dan penahan tanah. Akar pohon menjaga struktur tanah agar tetap stabil, sementara kanopi mengurangi intensitas air hujan yang langsung jatuh ke permukaan. Tanpa hutan, tanah menjadi gersang dan tidak mampu menahan curah hujan tinggi.
Ketika hujan deras turun, tanah yang tidak memiliki akar penahan mudah longsor. Lumpur, batu, dan kayu kemudian mengalir ke sungai, mempersempit alur sungai dan menyebabkan banjir bandang.
Fenomena ini telah berulang di berbagai daerah di Indonesia, terutama di wilayah yang sedang mengalami atau sudah mengalami kerusakan lingkungan parah.
Apakah Bencana Ini Bisa Dicegah?
Bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor memang tidak bisa dihindari sepenuhnya, terutama di negara dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia. Namun dampaknya bisa diminimalkan secara signifikan jika hutan hulu dijaga dengan baik.
Beberapa langkah pencegahan yang disarankan pakar antara lain:
- Rehabilitasi hutan dan penanaman kembali di kawasan kritis.
- Pengendalian alih fungsi lahan secara ketat dan transparan.
- Penguatan sistem peringatan dini banjir dan longsor.
- Pengelolaan DAS secara terpadu dan jangka panjang.
- Pengawasan terhadap kegiatan industri ekstraktif di kawasan rawan bencana.
Jika seluruh langkah ini diterapkan secara serius, risiko bencana dapat ditekan dan keselamatan masyarakat lebih terjamin.
Saatnya Berhenti Mengulang Kesalahan Ekologis
Banjir Sumatera menjadi pengingat bahwa kerusakan hutan bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi juga masalah kemanusiaan. Setiap hektare hutan yang hilang berarti meningkatnya potensi bencana. Setiap izin alih fungsi lahan yang disahkan tanpa analisis risiko yang tepat berarti menurunkan kualitas hidup masyarakat di sekitarnya.
Indonesia membutuhkan kebijakan lingkungan yang lebih tegas, lebih ilmiah, dan lebih berpihak pada keberlanjutan. Tanpa itu, bencana seperti ini akan terus berulang di masa depan.
“Kita tidak bisa lagi menunggu. Deforestasi harus dihentikan, dan pemulihan ekosistem harus menjadi prioritas nasional,” ujar pakar UGM tersebut.
E: Agus Sanjaya | P: Muhammad Nursam
