Polemik Makan Siang Gratis Dalam Naungan Sistem Kapitalis
Oleh : Ummu Labeeba | Aktivis Muslimah
Krinkz.co - Dalam beberapa waktu terakhir, susu ikan telah menjadi topik hangat dalam diskusi publik sebagai alternatif sumber protein pengganti susu sapi. Muncul berbagai pandangan yang saling bertentangan mengenai seberapa efektif susu ikan dapat digunakan sebagai substitusi susu sapi, khususnya dalam konteks program makan siang gratis yang digagas oleh pemerintah Prabowo Subianto. Beberapa pihak mendukung penggunaan susu ikan karena potensi manfaat gizi dan keberlanjutan sumber daya perikanan, sementara yang lain meragukan keefektivitasannya dan mempertanyakan penerimaan masyarakat terhadap produk tersebut. Perdebatan ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas mengenai kebijakan pangan dan upaya untuk meningkatkan gizi masyarakat di tengah tantangan yang ada.The Straits Times, koran asal Singapura melaporkan susu ikan sudah lama menjadi inovasi pemerintah RI Pada 2023.
Dalam laporan yang dimuat oleh The Strait Times berjudul "Fish milk instead of cow's milk? Idea for Prabowo's free lunch scheme creates a stir in Indonesia," muncul kritik yang menyatakan bahwa "susu ikan mungkin bukan pilihan terbaik untuk anak-anak, mengingat kandungan gula yang tinggi serta kurangnya dukungan ilmiah yang memadai mengenai manfaat kesehatan jangka panjangnya." Susu ikan sendiri merupakan jenis minuman protein yang dibuat dari hidrolisat protein ikan (HPI), yang diolah sedemikian rupa sehingga menyerupai susu. Produk ini menjadi sorotan karena inovasi dalam pemenuhan kebutuhan gizi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai kelayakannya sebagai pengganti susu sapi, terutama untuk konsumen muda yang memerlukan asupan nutrisi yang seimbang.
Berangkat dari isu stanting dan isu ketahanan pangan yang merupakan isu global. Hal ini yang menjadikan disolusikanlah berbagai macam program termasuk program makan siang gratis, susu gratis, dan susu ikan gratis. Yang diharapkanmenjadi solusi penyelesaian masalah stunting dan ketahanan pangan yang dihadapi oleh masyarakat.
Namun kebijakan ini yang seolah-olah untuk rakyat padahal memberi peluang bagi korporasi dan oligarki untuk bermain di dalamnya. Ditambah dana yang dikeluarkan pemerintah dalam program ini cukup fantastis mencapai 460 triliun memberi peluang besar terjadinya tindakan korupsi. Tentu ini menjadi angin segar bagi mereka yang memiliki tujuan pemanfaatan di dalamnya.
Dalam sistem demokrasi peran negara diposisikan memang bukan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas hajat hidup seluruh masyarakat. Negara hanya menjadi fasilitator yang berhak mengotak - Atik kebijakan tentu para pemodal. Bahkan tak memperhatikan dampak apa yang nantinya akan dirasakan oleh banyak. Sebab tujuan utamanya bukanlah kepentingan rakyat, melainkan materi dan kepentingan para penguasa dan pemilik modal.
Hal ini tentu saja berbeda dengan kepemimpinan Islam. Di mana dalam aturan Islam negara memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas sandang pangan dan papan seluruh warga negaranya. Tanggungjawab ini dilaksanakan dengan konsep Baitul mal. Serta pelaksanaan pelayanan ini pula dilaksabakan dengan ikhlas dan memberikan perhatian khusus pada jaminan kualitas generasi. Negara akan senantiasa memaksimalkan pemenuhan hak dasar ini dengan pemenuhan yang berkualitas. Maka negara akan mampu mencetak generasi kuat, cerdas serta berkualitas.
Wallahu'alam bishowab