Sudah Miskin, Dipalak Pula: Nasib Rakyat Miskin dalam Sistem Kapitalisme
Oleh : Emi Kartini | Aktivis Muslimah
Pemilik kendaraan yang tidak taat pajak akan didatangi oleh Tim Pembina Samsat untuk diingatkan tentang kewajibannya membayar pajak. Hal ini ditempuh karena tingkat kepatuhan masyarakat dalam melakukan perpanjangan STNK lima tahun masih sangat minim.
"Sudah jatuh, tertimpa tangga"—peribahasa ini tepat sekali untuk mencerminkan kondisi rakyat negeri ini. Sudahlah susah mencari rupiah, harga barang pokok pun naik. Belum lagi biaya sekolah anak-anak, biaya listrik, dan BBM yang ikut melonjak, seolah penderitaan rakyat tidak pernah selesai. Negara pun tidak tinggal diam, pajak pun semakin menambah beban derita. Miris sekali kondisi negara ini.
Negara yang katanya subur dan makmur, dengan kekayaan alam yang melimpah, ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah rakyatnya. Bahkan, kondisi tersebut justru memperburuk keadaan dan menyebabkan rakyat terjebak dalam kemiskinan. Masalah ini semakin parah dengan serangkaian pajak yang dibebankan kepada rakyat. Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi salah satu cara untuk mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis, karena pajak bisa menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika berbagai sektor—baik barang maupun jasa—menjadi sasaran pajak, tanpa memperhatikan apakah yang dibebani pajak tersebut adalah rakyat miskin. Ditambah dengan slogan "Warga negara yang baik adalah yang taat pajak," yang dikemas dengan apik, rakyat pun dengan rela membayar pajak. Pajak dianggap sebagai sumber pendapatan negara, sehingga dengan berbagai cara rakyat dipaksa untuk membayar pajak demi mencegah defisit anggaran negara.
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Mereka lebih suka memeras rakyat untuk menjadi sumber pendapatan daripada mengolah kekayaan alam yang melimpah. Penguasa enggan mengeluarkan modal untuk membeli peralatan dan mengolah kekayaan alam tersebut karena dianggap akan membengkakkan anggaran belanja negara. Sebaliknya, jika pengolahan kekayaan alam diserahkan kepada swasta atau pihak asing, mereka tidak perlu repot memikirkan pengolahan, yang penting negara tetap mendapatkan pemasukan, meski kenyataannya tidak seimbang. Akhirnya, negara mencari cara lain untuk mendapatkan sumber pendapatan, dan pada akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban, dibebani dengan pajak. Berbeda dengan sistem Islam, yang memiliki sistem perekonomian sendiri yang menjamin kesejahteraan rakyat tanpa pemungutan pajak yang membebani.