Standar Ganda Kemiskinan Ala Kapitalisme
Sumber Gambar : Canva
Krinkz.co - Permasalahan kemiskinan tidak
pernah ada habisnya di sistem saat ini. Hal ini sudah menjadi permasalahan
sehari-hari yang tak pernah menemukan titik penyelesaian secara nyata. Bahkan
angka kemiskinan terus saja bertambah dari tahun ke tahun. Tidak hanya berdampak
pada aspek ekonomi, kemiskinan juga memengaruhi akses terhadap pendidikan,
kesehatan, dan kesejahteraan secara menyeluruh. Meskipun berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasinya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
kemiskinan tetap menjadi tantangan besar yang belum terselesaikan.
Baru-baru ini mencuat kembali
pernyataan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, yang
melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut mengalami penurunan
sekitar 180.000 orang, dari 3,85 juta jiwa pada Maret 2024 menjadi 3,67 juta
jiwa pada September 2024, atau setara dengan penurunan sebesar 0,38 persen.
Namun, hal ini berbanding sangat
jauh dengan pernyataan Bank Dunia. Dalam laporan Macro Poverty Outlook
edisi April 2025, disebutkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran
di bawah USD 6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari (dengan kurs Rp16.606)
dikategorikan sebagai kelompok miskin di negara berpendapatan menengah atas.
Berdasarkan standar tersebut, sekitar 60 persen penduduk Indonesia, yang setara
dengan 171,9 juta jiwa, masih masuk dalam kategori miskin. Namun, persentase
tersebut mengalami penurunan tipis dibandingkan dengan 61,8 persen pada tahun
2023. (Liputan6.com, 30 April 2025)
Perbedaan yang sangat jauh ini
muncul akibat perbedaan indikator dalam menentukan standar kemiskinan nasional
dengan standar kemiskinan dunia. Hal ini sering kali menimbulkan kesenjangan
dalam memahami kondisi riil masyarakat. Misalnya, seseorang bisa saja tidak
masuk dalam kategori miskin tingkat nasional, namun jika dibandingkan dengan
standar global—terutama pada standar yang digunakan untuk negara menengah ke
atas—orang tersebut dapat masuk ke dalam kategori miskin ekstrem.
Sehingga, negara bisa mengklaim sukses “mengurangi kemiskinan”, padahal isinya
hanya data fiktif yang dibuat untuk memenuhi standar sukses yang telah
ditetapkan. Hal ini bertujuan untuk menarik investasi dari luar. Jika
masyarakat miskin menjadi sedikit, maka daya beli akan meningkat seiring
peningkatan pendapatan. Begitulah gambaran ekonomi ala kapitalisme.
Perbedaan ini pula menunjukkan
pentingnya penggunaan data yang akurat, menyeluruh, dan kontekstual agar
kebijakan pengentasan kemiskinan benar-benar menyasar kelompok yang paling
membutuhkan, serta solusi yang diberikan menyentuh akar permasalahan. Bukan
hanya sekadar agar perhitungan angka kemiskinan ini turun menurut standar yang
tidak jelas, bahkan berubah-ubah.
Berbeda halnya dengan sistem
ekonomi dalam Islam. Pengurusan terhadap permasalahan kemiskinan bukan hanya
sekadar perhitungan data tertulis, namun mengentaskan kemiskinan hingga ke akar
merupakan kewajiban negara. Negara wajib menjamin adanya pemenuhan kebutuhan,
terutama kebutuhan pokok setiap individu.
Sistem ekonomi Islam akan memberikan solusi dari berbagai aspek untuk
mengentaskan kemiskinan itu sendiri. Seperti pengelolaan SDA oleh negara untuk
keperluan masyarakat, memberikan lapangan pekerjaan yang luas, dan membentuk Baitul
Mal.
Seluruh sistem ini tidak diserahkan kepada mekanisme pasar atau pihak swasta,
namun langsung dilaksanakan dan diawasi oleh negara. Sebab hal ini selaras
dengan hadits Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (khalifah) adalah
pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sudah saatnya umat menyadari
bahwa sistem kapitalisme hanya memberikan solusi semu dan parsial terhadap
permasalahan, termasuk kemiskinan. Selama sistem ini terus dipertahankan, maka
problematika kehidupan tak akan pernah benar-benar terselesaikan.
Hanya sistem Islam yang mampu
memberikan solusi menyeluruh, karena berasal dari Sang Pencipta manusia,
kehidupan, dan alam semesta. Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna dalam mengatur kehidupan dan menyelesaikan problematika umat, termasuk dalam aspek ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Oleh karena itu, mari
bersama-sama memperjuangkan tegaknya sistem Islam secara kaffah, agar umat
terbebas dari belenggu kemiskinan dan berbagai problematika kehidupan lainnya.
Dengan kembalinya penerapan Islam Kaffah dalam naungan khilafah, insyaallah kesejahteraan
hakiki akan dirasakan seluruh umat, dan keadilan akan dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat.